Sabtu, 30 Juli 2011

PEPTIC ULCER YANG DIINDUKSI NSAID

Oleh Fransiscus Dedy, Yogyakarta


Obat golongan NSAID adalah salah satu obat yang paling sering diresepkan di seluruh dunia. Meskipun cukup aman dalam dosis yang sesuai dan untuk jangka waktu pendek, obat-obatan ini menyebabkan gangguan gastrointestinal dalam sejumlah besar kasus. NSAID mempengaruhi hampir semua bagian saluran pencernaan. Sebagian besar efek samping ini berupa ulserasi baik di oral, esofagus, lambung dan duodenum.
Sebagian besar kasus ulser dapat sembuh secara spontan, bahkan tanpa harus dilakukan penghentian obat. Namun, dalam beberapa kasus dapat menyebabkan toksisitas serius yang memerlukan penatalaksanaan khusus.

1.    Prevalensi
Di seluruh dunia, menurut penelitian  Dhikav et al (2003), 35 juta orang mengkonsumsi obat-obatan NSAID setiap hari, dan sekitar 30% dari pengguna tersebut diperkirakan mengalami ulserasi yang cukup parah sampai memerlukan campur tangan dokter. Sekitar sepertiga dari biaya perawatan pasien arthritis merupakan biaya pengobatan efek samping dari NSAID tersebut. Diperkirakan bahwa kira-kira 1.070.000 pasien dirawat setiap tahun untuk mengobati penyakit gastrointestinal akibat efek samping NSAID, dan setidaknya 16.500 kematian terkait efek samping NSAID terjadi setiap tahun. Gambaran diatas mungkin akan semakin bertambah dari waktu ke waktu.

2.    Patogenesis penyakit
Ulserasi dapat terjadi berdasarkan 2 mekanisme, yaitu secara lokal berkaitan dengan sifat asam NSAID dan secara sistemik berkaitan dengan penghambatan enzim siklooksigenase.
a.    Secara lokal
Efek samping ini diberkaitan dengan sifat asam kebanyakan NSAID yang dapat memicu pengelupasan mukosa lambung.
b.    Secara sistemik
NSAID bekerja dengan menghambat pembentukan enzim siklooksigenase (COX). Siklooksigenase terdiri 2 iso-enzim, yakni COX-1 dan COX-2. COX-1 terdapat di kebanyakan jaringan, antara lain di platetlet, ginjal dan di gastrointestinal. Zat ini berperan dalam pemeliharaan perfusi ginjal, homeostatis vaskuler dan melindungi lambung dengan jalan membentuk bikarbonat dan mukosa, serta menghambat produksi asam. COX-2 dalam keadaan normal tidak terdapat dalam jaringan, tetapi dibentuk oleh sel-sel radang selama proses peradangan.
NSAID menghambat kedua jenis iso-enzim COX, COX-1 yang berguna bagi proteksi lambung juga mengalami penghambatan, akibatnya terjadi penurunan faktor proteksi lambung-duodenum.

3.    Penatalaksanaan
Penatalaksanaan yang terutama adalah penghentian penggunaan NSAID. Sebagian besar kasus ulcer peptik yang diakibatkan oleh penggunaan NSAID adalah bersifat reversibel, atau dapat hilang setelah penghentian obat. 
    Bila NSAID telah dihentikan, kebanyakan ulcer dapat disembuhkan dengan terapi standar berupa antagonis reseptor H2, PPI atau sucralfate. PPI biasanya lebih dipilih karena memiliki onset yang lebih cepat dibanding H2RA atau sucralfat. Bila NSAID tetap harus dilanjutkan pada pasien yang mengalami ulser, harus dipertimbangkan untuk menurunkan dosis atau mengganti obat anti inflamasi dari golongan non-asetil salisilat. PPI merupakan drug of choice bila penggunaan NSAID tidak dapat dihentikan, sesuai dengan kemampuannya menekan produksi asam. H2RA dan sucralfate kurang efektif pada kasus ini.

Interaksi Makanan dengan Obat Karbamazepin

Oleh Fransiscus Dedy, Yogyakarta

    Telah banyak penelitian yang menunjukkan terjadinya interaksi antara karbamazepin dengan makanan. Sebuah penelitian yang memulai studi tentang interaksi ini berupa case report oleh Bonin B, Vandel P, Vandel S, Kantelip JP (2001):  Seorang pria 58 tahun, mengkonsumsi carbamazepine 1000mg perhari untuk penatalaksanaan epilepsi yang dideritanya. Suatu ketika pasien tersebut ditemukan mengalami kenaikan kadar carbamazepine dalam darah sampai dengan 11 mcg/ml, padahal biasanya kadar carbamazepine pasien tersebut tidak lebih dari 5,4 mcg/ml. Pasien tersebut mengatakan selama 1 bulan terakhir ia rutin mengkonsumsi 1 buah grapefruit (Citrus paradisi)setiap hari.
    Pada penelitian lain yang dilakukan oleh Garg SK, Kumar N,  Bhargava VK, Prabhakar SK (1998), sebuah studi acak dilakukan terhadap 10 orang pengidap epilepsi yang menerima carbamazepine 200mg 3 kali sehari. Ditemukan bahwa pemberian dosis tunggal jus grapefruit 300 ml perhari dapat menaikkan kadar plasma dan AUC carbamazepine sebanyak 40%.
    Hidaka M., et all (2005) menemukan bahwa buah delima (Punica granatum) memiliki karakteristik interaksi terhadap carbamazepine yang sama dengan dengan grapefruit. 
    Mekanisme interaksi yang dihipotesiskan dalam beberapa penelitian dirangkum dalam Sockley’s (2005) adalah sebagai berikut: Sitokrom P450 koenzim CYP3A4 merupakan enzim utama yang terlibat dalam metabolisme karbamazepin. Grapefruit dan buah delima menginhibisi sitokrom P450 isoenzim CYP3A4, yang mengakibatkan terhambatnya metabolisme karbamazepin, sehingga jumlah karbamazepin aktif meningkat.
    Solusi yang bisa dilakukan pada interaksi ini adalah:
1.    Menginformasikan kepada pasien untuk tidak mengkonsumsi buah grapefruit dan delima selama pengobatan.
2.    Pada keadaan pasien tetap harus mengkonsumsi buah grapefruit dan delima, maka harus dilakukan monitoring kadar carbamazepine dalam darah. Dan pasien harus segera menghubungi dokternya bila dimukan tanda-tanda overdose atau keracunan carbamazepine. Tanda-tanda yang bisa diamati adalah: muntah, halusinasi, mengantuk, ataksia, nystagmus, reaksi distonik. Pada keracunan yang lebih poten dapat terjadi koma, kejang, depresi pernafasan dan hipotensi.



referensi:
Bonin B, Vandel P, Vandel S, Kantelip JP., 2001, Effect of grapefruit intake on carbamazepine bioavailability: a case report. Therapie (2001) 56, 69–71.

Garg SK, Kumar N, Bhargava VK, Prabhakar SK, 1998, Effect of grapefruit juice on carbamazepine bioavailability in patients with epilepsy, Clin Pharmacol Ther.  64, 286–8.


Hidaka M, Okumura M, Fujita K, Ogikubo T, Yamasaki K, Iwakiri T, Setoguchi N, Arimori K., 2005, Effects of pomegranate juice on human cytochrome p450 3A (CYP3A) and carbamazepine pharmacokinetics in rats, Drug Metab. Dispos. 2005 May;33:644-8


Ivan Stockley (Ed), 2005, Drug Interactions, Electronic version, Pharmaceutical Press, London


Sweetman SC (Ed), 2007, Martindale: The Complete Drug Reference, Electronic version, Pharmaceutical Press, London


DIARE YANG DIINDUKSI ANTIBIOTIKA

Oleh Fransiscus Dedy, Yogyakarta


Diare yang diinduksi antibiotika (Antibiotic Asociated Diarrhea/AAD) pertama kali dilaporkan pada tahun 1893 oleh John Finney and Sir William Osle dalam Bulletin of the Johns Hopkins Hospital.
AAD diduga berkaitan erat dengan terjadinya superinfeksi karena perubahan komposisi dan fungsi flora normal dalam tubuh akibat penggunaan antibiotik spektrum luas. Agen superinfeksi yang terlibat dalam AAD utamanyanya adalah bakteri Clostridium difficile (Pimental dan Choure, 2009) (Kelly dan LaMont, 2009).
1.    Prevalensi
Kejadian AAD sangat bervariasi dan tergantung dari banyak faktor, termasuk infeksi nosokomial, pola penggunaan antimikroba dan daya tahan tubuh seseorang. Diperkirakan 10%-15% pasien yang dirawat inap dirumah sakit dengan antibiotik akan berpeluang mengalami AAD. Beberapa faktor resikonya antara lain, status imun, usia, jenis dan durasi pemakaian antibiotik.
    Semua jenis antibiotika berpeluang menyebabkan terjadinya AAD terutama jenis antibiotika spektrum luas. Cefalosporin, penisilin dan klindamisin adalah merupakan antibiotik yang paling potensial menyebabkan AAD.
2.    Patogenesis
Bakteri C. difficile menghasilkan senyawa toksin yaitu toksin A dan toksin B. Kedua jenis toksin ini menunjukkan daya enterotoksin dan sitotoksin yang bertanggung jawab dalam manifestasi klinik AAD. Mekanisme aksinya dengan cara pengikatan toksin pada reseptor intestinal, memicu terjadinya disrupsi cellular skeleton dan intracellular junctions. Akibatnya sintesis protein dan pembelahan sel terhambat. Situasi ini menyebabkan mediator inflamasi mengaktifkan netrofil dan monosit untuk meningkatkan permeabilitas kapiler, nekrosis jaringan, hemorrhage dan edema. Manifestasi klinis yang terjadi berupa diarea atau kolitis (Pimental dan Choure, 2009).
3.    Penatalaksanaan
Guidelines yang diterbitkan oleh American College of Gastroenterology merekomendasikan penataksanaan AAD dengan penghentian atau penggantian antibiotik. Tetapi pada keadaan dimana penghentian antibiotik tidak mungkin dilakukan maka ditambahkan metronidazol untuk menanggulangi infeksi C. difficile.

referensi
Kelly, CiarĂ¡n P dan Thomas LaMont, Patient information: Antibiotic-associated diarrhea (Clostridium difficile), 2009

Pimental, Ronnie dan Anuja Choure, Antibiotic-Associated Diarrhea, dalam buku: Current Clinical Medicine 2009, editor William D. Carey, The Cleveland Clinic Foundation, 2009