Senin, 15 Agustus 2011

FARMAKOVIGILAN DAN FARMAKOEPIDEMIOLOGI (bagian I)

 Oleh Fransiscus Dedy, Semarang


Seri tulisan ini merupakan ringkasan dari karya: Corinne de Vries and Lolkje de Jong-van den Berg yang ditulis dalam buku Pharmacy Pratice

PENGANTAR
Farmakovigilan mencakup kegiatan mendeteksi kejadian efek obat yang tidak diduga, yang tidak diharapkan dan yang merugikan. Farmakoepidemiologi seringkali dianggap sebagai sub-domain dari farmakovigilan. Dalam farmakoepidemiologi dilakukan kuantifikasi frekuensi kejadian adverse effect (efek obat yang merugikan) dan mengidentifikasi pada sub populasi mana terjadi variasi terhadap besarnya efek tersebut. Laporan adanya adverse effect dimulai sejak akhir abad 19 saat ditemukan bahwa penggunaan kloroform dapat meningkatkan resiko kejadian gagal jantung.
Sebuah contoh adverse effect yang mungkin telah terdengar akrab adalah kasus thalidomide. Obat ini awalnya dikatakan aman dan secara khusus diperuntukkan bagi pasien hamil, tetapi kemudian ternyata ditemukan bahwa thalidomide menyebabkan phocomelia bila dikonsumsi pada trimester pertama kehamilan. Pada tahun 1938 terungkap bahwa dietil glikol yang digunakan sebagai pelarut sulfanilamid menyebabkan kebutaan. Kejadian-kejadian ini membuat para pengambil kebijakan di beberapa negara mulai mengembangkan sebuah sistem untuk monitoring keamanan obat. Di Amerika FDA mulai mengumpulkan laporan kasus semua kejadian Adverse Drug Reaction (ADR) pada tahun 1960. Pada era 1960an, atas tragedi thalidomide dan sesudahnya atas penemuan bahwa kontrasepsi oral meningkatkan resiko penyakit thromboembolic, maka dibuatlah Committee on Safety of Medicine (CSM) di UK dan sistem-sistem pelaporan spontan yang serupa di Eropa.
Pada era tahun 1990an ditemukan bahwa thalidomide dapat memberikan hasil yang menguntungkan pada pengobatan leprosy serta beberapa kasus pada pengobatan AIDS. Ini menunjukkan bahwa meskipun suatu obat adalah berbahaya bagi sebuah sub populasi tertentu (fetus) tapi pada sub-populasi yang lain obat tersebut dapat justru berguna (pasien terineksi HIV atau leprosy).
Keamanan obat merupakan salah satu peran pokok farmasis dimanapun mereka bekerja baik di pabrik, otoritas kesehatan. Farmasi harus menjadi advisor pada penggunaan obat, dalam memperkenalkan suatu obat, dalam kasus penarikan obat dari pasaran atau dalam menentukan apakah sebuah kejadian merupakan ADR atau bukan. Bab ini akan menjelaskan bagaimana kejadian ADR dideteksi, kemudian menetapkan penyebabnya, serta bagaimana sebuah studi kajian keamanan obat harus diintepretasi dan dievaluasi.
Farmakovigilan didefinisikan oleh WHO sebagai: ‘the detection, assessment, and prevention of adverse drug effects in humans’. Sumber farmakovigilan adalah sistem pelaporan secara nasional akan sebuah kasus yang diduga ADR dan hasil kajian farmakoepidemiologi. Tujuan utama farmakovigilan adalah:
• Deteksi dini adverse effect yang belum diketahui dan interaksi
• Deteksi terhadap peningkatan frekuensi adverse effect yang telah diketahui
• Identifikasi faktor resiko dan mekanisme yang mendasari sebuah adverse effect
• Menetapkan aspek kuantitatif dari sebuah resiko
• Analisis dan penyebaran informasi yang dibutuhkan bagi peresepan dan regulasi obat
Informasi utama farmakovigilan bersumber dari pasien, dokter, dan farmasis.

bersambung ke bagian II...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar